Nama lengkapnya adalah Al-Ala’ bin Abdullah bin Ammar bin Akbar bin Rabi’ah bin Malik bin Akbar bin Uaif bin Malik bin Khozroj bin Shodaf Al-Hadhrami.
Beliau oleh Rasulullah saw. dipercaya menjadi penguasa dan memerintah wilayah Bahrain. Ketika sahabat Abu Bakar As-Shiddiq ra. menjadi khalifah beliau tetap dipercaya memimpin wilayah itu, begitu juga ketika sahabat Umar bin Khattab ra. menjadi khalifah, sampai akhirnya beliau wafat tahun 21 H.
Karomahnya
Di antara karomah beliau adalah:
1). Ketika beliau ditunjuk Rasulullah saw., memimpin pasukan menuju Bahrain, bekal air yang dibawa habis sama sekali, sehingga pasukan kesulitan mendapatkan air minum. Oleh karenanya, mereka melaporkan kondisi ini kepadanya. Kemudian beliau shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Halim, ya Alim, ya Adhim, turunkanlah hujan kepada kami.” Akhirnya gumpalan mendung tampak di langit, dan tidak lama kemudian hujan mengguyur mereka, sehingga mereka memenuhi semua wadah atau tempat air minum mereka.
2.) Dalam meneruskan perjalanan yang mengharuskan pasukan menyeberang laut, kapal yang seharusnya mengangkut mereka sudah tidak ada, karena mereka terlambat datang, sementara pasukan harus segera tiba di tempat tujuan. Di antara mereka berkata, “Ya Ala’ kita sudah mencari ke sana ke mari kapal yang mengangkut kita sudah tidak ada.” Maka kemudian beliau kembali shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Halim, ya Alim, ya Adhim, berilah kami kemampuan menyeberangi laut.” Kemudian beliau mengelus-elus dahi kuda, lalu memerintahkan semua pasukannya untuk menyeberang. Akhirnya pasukan yang berjumlah 4.000 orang menyeberang laut dan tidak ada satu telapak kaki kuda atau manusia pun yang basah.
Demikian sebagaimana dituturkan oleh sahabat Abu Hurairah yang ikut bersama dengan pasukan tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani (Al-Awsath: 3495, As-Shaghir: 400, Al-Kabir: 141, 734 & 14589): Abu Hurairah berkata, “Ketika Nabi saw. mengutus Al-Ala’ bin Al-Hadhrami ke negeri Bahrain, aku ikut bersamanya, aku melihat tiga kejadian yang tidak aku ketahui di antara tiga itu yang lebih menakjubkan; Kami sampai di pantai, ia kemudian memerintahkan; Sebutlah asma (nama) Allah dan rapatkan barisan. Kami lalu menyebut nama Allah dan merapatkan barisan, kemudian kami menyeberang (lautan), maka tidak ada air yang membasahi, kecuali kaki-kaki onta kita. Ketika kita sampai pada suatu gurun sahara, kami tidak mempunyai persediaan air, kami lalu mengeluhkan kepadanya. Ia kemudian shalat (2 rakaat) dan memerintahkan pasukan untuk ikut shalat dua (2) rakaat. Ia berdoa kepada Allah. Begitu shalat selesai, tiba-tiba mendung seperti tameng, onta (dan kuda) diistirahatkan, (lalu) kita minum dan memberikan minum. Kemudian ia wafat, kami menguburkannya di antara batu-batu kerikil. Ketika belum jauh dalam perjalanan, kami mendengar mayatnya telah didatangi hewan buas, lalu kami kembali mencari mayatnya, tetapi kita tidak melihat (menemukan) mayatnya.”
Kalau kita memperhatikan kalimat terakhir, seolah jasadnya dimakan oleh binatang buas. Apakah benar demikian? Keterangan di bawah ini menegaskan bahwa beliau memang pernah berdoa kepada Allah agar jasadnya tidak diketahui oleh banyak orang. Coba perhatikan teks-teks berikut yang diterangkan secara jelas oleh para ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana tersebut di bawah ini:
Penjelasan Syaikh Hibatullah bin Hasan bin Manshur At-Thabari Al-Lalka’i (wafat: 488 H.) dalam kitab Karamatul Auliya’ dan Syarah Ushul I’tiqodi Ahlis Sunnah Wal Jama’ah dari Abis Salil Dhuraib bin Nufair demikian penuturannya: Abus Salil Dhuraib bin Nufair berkata; Aku menemani Al-Ala’ bin Al-Hadhrami ketika dia diutus ke Bahrain. Kami melewati gurun sahara, bagaikan fatamorgana, kami menjadi haus dengan haus yang sangat, sampai kita takut akan mati, sementara kita tidak tahu berapa jauh jarak yang harus ditempuh. Situasi ini disampaikan kepadanya, ia kemudian turun dari kudanya, shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Halimu, ya Alimu, ya Aliyyu, ya Adhimu, turunkanlah hujan (kepada kami).” Seketika (muncul) gumpalan mendung, seolah sayap burung yang menutupi kami. Kemudian kami sampai di teluk laut, yang tidak pernah dilewati sebelum atau sesudah mereka. Kami mencari perahu atau kapal (untuk menyeberang) tapi tidak menemukannya, kami melaporkan hal ini kepadanya. Kemudian dia (kembali) shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Halimu, ya Alimu, ya Aliyyu, ya Adhimu, berilah kami kemampuan untuk dapat menyeberang.” Lalu ia memerintahkan kami untuk menyeberang dengan menyebut nama Allah. Abu Hurairah berkata; Kami semua melewati air, menyeberang, demi Allah tidak satu pun kaki (manusia), kaki onta, dan kaki kuda yang basah, ketika itu tentara berjumlah empat ribu pasukan. Ketika kami sudah menyeberang, dia bertanya, “Adakah di antara kalian yang kehilangan sesuatu?” Pasukan menjawab, “Tidak!” Kami kemudian sampai ke Bahrain membukanya dan ia menetap di Bahrain setahun sampai akhirnya ia wafat, rahmat Allah (mudah-mudahan terlimpahkan) atasnya. Amiin.
Penuturan Syaikh Kamaluddin; Muhammad bin Musa Ad-Damiri (wafat: 808 H.) dalam kitabnya Hayatul Hayawan Al-Kubra,96) sebagai berikut: Abu Hurairah ra. berkata; Sahabat Al-Ala’ bin Al-Hadhrami, diutus untuk memimpin pasukan ke negeri Bahrain dan aku termasuk di dalamnya. Kami melewati gurun sahara, dan pasukan ditimpa kehausan yang sangat, sehingga mereka takut akan mati. Kemudian sahabat Ala’ turun dari kudanya dan shalat dua rakaat, lalu berdoa, “Ya Halimu, ya Alimu, ya Aliyyu, ya Adhimu berilah kami hujan.” Seketika itu awan datang seolah sayap burung mengepung kita, lalu turunlah hujan, sehingga kami memenuhi wadah-wadah kami, dan memberi minum hewan tunggangan kami. Kami meneruskan perjalanan sampai akhirnya sampai ke teluk sebuah laut. Teluk itu sebelum dan sesudahnya belum pernah dilewati orang, kami tidak menemukan kapal (untuk mengangkut kami). Ala’ kembali shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Halimu, ya Alimu, ya Aliyyu, ya Adhimu, berilah kami kekuatan untuk melewati laut.” Kemudian ia mengelus dahi kudanya, dan berkata (kepada pasukan), “Sekarang menyeberanglah!” Abu Hurairah berkata; Kami kemudian berjalan (melewati lautan). Demi Allah, tidak ada satu pun mata kaki, kuku kaki kuda, dan onta yang basah, padahal pasukan ketika itu berjumlah empat ribu orang.
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa: Al-Ala’ Al-Hadhrami adalah seorang yang dipercaya oleh Rasulullah saw. menjadi penguasa Bahrain, ia selalu memanjatkan doa, “Ya Alimu, ya Halimu, ya Aliyyu, ya Adhimu”, kemudian doanya dikabulkan oleh Allah, ketika tidak ada bekal air, dia juga berdoa agar mereka dapat minum, memberi minum dan berwudhu’, doanya juga dikabulkan, dan ia juga berdoa ketika dihadapkan kepadanya ketidakmampuan pasukannya untuk menyeberang laut bersama kuda-kuda mereka, mereka pun dapat menyeberang dengan tanpa basah kaki-kaki kuda mereka, ia juga berdoa agar jasadnya setelah wafat untuk tidak ketahui dan dilihat oleh orang, mereka pun tidak menemukan jasad mayatnya ketika melihat pada liang kuburnya.
Penegasan Syaikh Syamsuddin Abul Aun, Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Safariny Al-Hambali (Wafat: 1188 H.) dalam kitabnya Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah wa Sawathi’ul Asrari Al-Atsariyyah Lisyarhid Durrah Al-Mudhiyyah Fi Aqdil Firqah Al-Mardhiyyah: Kisah Ashabul Kahfi dan (kisah) berjalan di atas air, seperti yang dikisahkan dari para wali dari para sahabat dan yang lainnya, sebagaimana kisah Al-Ala’ bin Al-Hadhrami seorang sahabat. Ia (beserta pasukannya) menuju ke Bahrain, melewati sebuah gurun sahara, kemudian pasukannya ditimpa kehausan yang amat sangat, sehingga mereka takut akan mati. Ala’ turun dari kudanya, kemudian shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Halimu, ya Alimu, ya Aliyyu, ya Adhimu berilah kami hujan.” Seketika itu datang segumpal awan mendung dan menurunkan hujan, sehingga mereka memenuhi wadah-wadah mereka, dan memberi minum hewan tunggangan mereka. Setelah itu mereka meneruskan perjalanan sampai ke teluk sebuah laut. Teluk itu sebelumnya belum pernah dilewati orang, mereka tidak menemukan kapal (untuk mengangkut mereka). Ala’ kembali shalat dua rakaat dan berdoa, “Ya Halimu, ya Alimu, ya Aliyyu, ya Adhimu, berilah kami kekuatan untuk melewati laut.” Ia mengelus dahi kudanya, dan berkata, “Sekarang menyeberanglah!” Sahabat Abu Hurairah mengatakan; Kita lalu berjalan (melewati lautan). Demi Allah, tidak ada satu pun mata kaki, kuku kuda, dan onta yang basah, padahal pasukan ketika itu berjumlah empat ribu pasukan.
Wallahu A’lam
Sumber: Buku “Kesahihan Dalil Keramat Wali” karya KH.M. Hanif Muslich, Lc.